ILMU REPRODUKSI TERNAK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Reproduksi

Reproduksi atau perkembangbiakan merupakan bagian dari ilmu faal ( fisiologi ). Reproduksi secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan individual dan meskipun siklus reproduksi suatu hewan berhenti, hewan tersebut masih dapat bertahan hidup, sebagai contoh hewan yang diambil organ reproduksinya ( testes atau ovarium ) hewan tersebut tidak mati. Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas atau dewasa kelamin, dan hal ini diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang dihasilkan dalam tubuh hewan. Hewan tingkat tinggi, termasuk ternak, bereproduksi secara seksual, dan proses reproduksinya meliputi beberapa tingkatan fisiologik yang meliputi fungsi-fungsi yang sangat komplek dan terintegrasi antara proses yang satu dengan yang lainnya. Tingkatan-tingkatan fisiologik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan sel-sel kelamin ( gamet )
2. Pelepasan sel-sel gamet yang telah berdiferensiasi secara fungsional
3. Perkawinan untuk mempertemukan gamet jantan dan gamet betina
4. Fertilisasi, fusi antara kedua pronuclei
5. Pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan zigote sampai kelahiran normal

1.2 Peranan Proses Reproduksi Dalam Kehidupan Makhluk Hidup

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa reproduksi secara fisiologik tidak vital bagi kehidupan makhluk hidup, tetapi reproduksi merupakan proses yang sangat penting ntuk kelanjutan suatu jenis atau bangsa hewan. Dalam bidang peternakan, produktivitas ternak tidak dapat dipisahkan dengan proses reproduksi. Sebagai contoh, untuk menghasilan telur, susu dan ternak muda, haruslah melalui serangkaian proses reproduksi yang dimulai dengan pembentukan sel telur / sel sperma, ovulasi, fertilisasi, pertumbuhan dan perkembangan fetus sampai dengan dilahirkan (partus).
Manajemen perkawinan ternak yang baik sangat penting untuk meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunannya. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB). Dengan teknik IB dapat ditingkatkan perbaikan mutu genetik secara cepat, untuk pencegahan kemajiran ternak, pencegahan penyebaran penyakit. Pada inseminasi buatan hanya pejantan-pejantan yang sudah teruji dan mempunyai genetik yang baik yang dipakai untuk mengawini ternak betina sehingga dapat memperbaiki mutu genetik pada turunannya. Dengan IB tidak terjadi kontak langsung antar ternak sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit kelamin menular, juga dengan IB masih memungkinkan pejantan unggul yang mempunyai cedera tubuh dimanfaatkan untuk diambil spermanya untuk mengawini betina.
Teknik lainnya untuk meningkatkan efisiensi reproduksi adalah dengan embrio transfer. Teknik ini biasanya dilakukan secara bersamaan dengan superovulasi. Dengan teknik superovulasi, betina yang berkualitas baik yang dipakai sebagai donor embrio dipacu agar dapat mengovulasikan banyak sel telur, setelah sel-sel telur itu dibuahi dan berkembang menjadi zigot-zigot. Zigot-zigot tersebut ditransfer pada beberapa resipien. Dengan hal ini berarti meningkatkan efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut. Pada periode dekade ini telah berkembang beberapa kemajuan bioteknologi untuk meningkatkan efisiensi reproduksi, meningkatkan mutu genetik turunan dan memperpendek jarak regenerasi, yaitu antara lain dengan pembuatan chimera dan cloning (penjelasan secara detail lihat di internet dan jurnal).
Chimera memungkin embrio dari seekor hewan dititipkan pada hewan lain yang berlainan speciesnya. Dengan teknik chimera, maka embrio yang akan dititipkan tersebut telah dimanipulasi sel-selnya sehingga tidak dikenal sebagai embrio asing dan akhirnya akan dapat berkembang sampai lahir tanpa adanya penolakan ( rejection ) dari induk yang dititipi. Teknik ini sangat bermanfaat bagi usaha meningkarkan populasi hewan-hewan yang hampir punah ( endangered species ). Seperti dalam pembuatan chimera, pada pembuatan cloning juga dilakukan manipulasi embrio. Dengan teknik cloning memungkinkan diproduksi hewan dengan karakteristik genetik dan performan yang dikehendaki secara besar-besaran. Akan tetapi teknik chimera dan cloning membutuhkan keahlian yang khusus serta biaya yang tidak sedikit, sehingga masih dalam tahap penelitian di laboratorium dan belum bisa diaplikasikan di dunia peternakan secara luas. Sampai saat ini teknik reproduksi yang sudah diterapkan secara luas adalah inseminasi buatan. Secara terminologinya dapat diartikan bahwa inseminasi buatan merupakan sebuah proses pemasukan semen dari pejantan yang telah diseleksi ke dalam organ reproduksi ternak betina.

Bab II
SIKLUS REPRODUKSI

Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi. Hewan betina harus menghasilkan ovum yang hidup dan di ovulasikan pada waktu yang tepat. Ia harus memperlihatkan estrus atau keinginan untuk kawin dekat waktu ovulasi sehingga kemungkinan penyatuan sel kelamin jantan dengan sel telur dan kemungkinan pembuahan lebih tinggi. Ia harus menyediakan lingkungan intra – uterin yang sesuai untuk konseptus sejak pembuahan sampai partus, demikian lingkungan yang baik pula untuk anaknya sejak lahir sampai waktu disapih. Jadi, reproduksi normal melingkupi penyerentakan dan penyesuaian banyak mekanisme fisiologik.

2.1 Pubertas (Dewasa Kelamin)

Dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu dimana organ – organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembang biakan dapat terjadi. Pada hewan jantan, pubertas ditandai oleh kesanggupan berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan – perubahan kelamin skunder lain. Pada hewan betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya estrus dan ovulasi. Sebelum pubertas, saluran reproduksi betina dan ovarium perlahan – lahan bertambah ukuran dan tidak menunjukkan aktivitas fungsional. Pertumbuhan yang lambat ini sejajar dengan pertumbuhan berat badan sewaktu hewan berangsur dewasa.

2.2 Hormone dan Pubertas

Pertumbuhan dan perkembangan organ – organ kelamin betina sewaktu pubertas dipengaruhi oleh hormone – hormone gonadotropin dan hormone – hormone gonadal. Pelepasan FSH ke adalam aliran darah menjelang pubertas menyebabkan pertumbuhan folikel – folikel pada ovarium. Sewaktu folikel – folikel itu tumbuh dan menjadi matang, berat ovarium eninggi dan estrogen diekskresikan di dalam ovaroium untuk di lepaskan ke dalam aliran darah. Estrogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan saluran kelamin betina. Apabila folikel – folikel menjadi matang, ova dilepaskan dan turun ke tuba fallopii.
Bukti – bukti menunjukkan bahwa permulaan pubertas pada hewan betina disebabkan oleh pelepasan tiba – tiba hormone gonadotropin dari kelenjar adenohypophysa ke dalam saluran darah dan bukan di mulainya secara tiba – tiba produksi hormone tersebut. Mekanisme neurohomoral yang menyebabkan pelepasan gonadotropin dari kelenjar adenohypophisa telah diisolir dari hypothalamus. Ransangan – ransangan neural tertentu dapat mempercepat timbulnya pubertaspada beberapa hewan betina. Hal ini mungkin berarti bahwa ransangan – ransangan neural menyebabkan hypothalamus menghasilkan atau melepaskan factor – factor pelepa yang sebaliknya menyebabkan pelepasan gonadotropin ke dalam lairan darah.

2.3 Umur dan Berat Badan Pubertas

Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat menyolok karena timbul secara tiba – tiba. Tampak seolah – olah thermostat fisiologik telah disentakkan untuk menimbulkan aktivitas reproduksi. Pubertas, kecuali pada pada hewan – hewan yang bermusim, umumnya terjadi apabila berat dewasa hamper tercapai dan kecepatan pertumbuhan mulai mennurun. Hal ini berarti bahwa timbulnya pubertas mungkin berhubungan melalui beberapa jalan dengan suatu perubahan keseimbangan antara pengeluaran gonadotropin dan hormone pertumbuhan oleh kelenjar adenohypophisa. Umur dan berat hewan sewaktu timbulnya pubertas berbeda – beda menurut species. Karena pengaruh lingkungan, estrus sering terjadi pada umur yang sedemikian rendahnya sehingga apabila terjadi konsepsi maka kelahiran akan berbahaya karena kelahiran.

Spesies Usia
Kuda 10 – 24 bulan
Sapi, bangsa eropah 6 – 18 bln
Sapi, Brahman dan zebu 12 – 30 bln
kerbau 2-3 thn
Domba 6 – 12 bulan
babi 5-8 bulan

Sesudah perkawinan ternak dara tingkatan makanan selama kebuntingan pertama haruslah cukup untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya agar supaya menjelang waktu partus tidak terjadi komplikasi seperti distoksia.

2.4 Factor – Factor Yang Memepengaruhi Pubertas

Pubertas di control oleh mekanisme – mekanisme fisiologik tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar adenohypophisa, maka pubertas tidak luput dari pengaruh factor herediter dan lingkungan yang bekerja melalui organ – organ tersebut.
Musim; pemeriksaan ovaria pada babi di rumah potong menunjukkan bahwa musim pemotongan, jadi musim kelahiran, mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap pubertas.
Suhu; pengaruh suhu lingkungan yang konstan terhadap timbulnya pubertas pada sapi – sapi dara Brahman ( Zebu ). Pada sapi – sapi dara yang dikandangkan pada suhu 800F ( 28.90C ) pubertas dicapai pada rata – rata umur 398 hari dibandingkan dengan 300 hari pada 500 F (100C). Pada sapi – sapi dara yang ditempatkan dengan kondisi luar, pubertas dicapai pada umur 320 hari.
Makanan; makanan yang cukup perlu untuk fungsi endokrin yang normal. Tingkatan makanan tampaknya mempengaruhi sintesa pelepasan hormone dari kelenjar – kelenjar endokrin.
Factor – factor genetic; factor – factor genetic yang mempengaruhi umur pubertas dicerminkan oleh perbedaan antar bangsa, strain, kelompok pejantan dan oleh persilangan dan inbreeding. Pada umumnya, sapi – sapi Brahman dan Zebu mencapai pubertas lebih lambat 6 sampai 12 bulan dari pada sapi – sapi bangsa eropah.

2.5 Musim Kawin (Breeding Season)

Hewan – hewan betina beberapa spesies memperlihatkan siklus reproduksi yang terus – menerus sepanjang tahun apabila tidak terjadi kebuntingan. Pada hewan – hewan betina kejadian siklus berahi yang berturut – turut pada betina tidak bunting hanya terbatas pada musim – musim tertentu dalam waktu satu tahun, yang disebut dengan “musim kawin” atau breeding season. Akan tetapi sebelum dan sesudah musim kawin, saluran reproduksi dan ovaria pada betina berada dalam suatu keadaan yang relative tenang atau inaktif; keadaan ini disebut dengan anestrus.
Factor – factor yang mempengaruhi musim kawin:
? Lamanya siang hari ( photo periode ) Marshall (1973), mengobservasi bahwa apabila domba – domba betina dipindahkan melewati khatulistiwa dari belahan betina utara ke belahan bumi selatan, domba - domba tersebut segera merubah musim kawinnya sesuai dengan lingkungan yang baru.
Siang hari yang panjang menyebabkan terhentinya kegiatan reproduksi. Gejala – gejala estrus akan timbul kembali apabila malam hari bertambah panjang dan siang hari bertambah pendek. Respons domba terhadap panjang siang hari yang berkurang disebut “pekawin hari pendek” (short days breeders). Sebaliknya unggas berespons terhadap panjang siang hari yang bertambah, dan disebut ”pekawin hari panjang” ( long day breeders )
Lamanya siang hari bukanlah satu –satunya factor yang mempengaruhi periodisitas kegiatan reproduksi. Lama penyinaran secara buatan di musim dingin dan menguranginya selama musim panas, maka musim reproduksi dapat berbalik terjadi pada musim semi dan musim panas.
? Suhu. Pengaruh suhu adalah sekunder terhadap pengaruh lamanya siang hari atau lamanya penyinaran. Seleksi alamiah selama periode banyak generasi akan lebih efektif terhadap respons lamanya siang hari daripada respons terhadp perubahan – perubahan suhu.
? Factor – factor lain. Factor – factor lingkungan tertentu terlibat mempengaruhi musim reproduksi.
? Kekurangan makanan atau kesehatan yang terganggu dapat mempengaruhi datangnya musim kawin.
? Mekanisme hormonal.: Pengendalian reproduksi pada ternak – ternak yang kawin bermusim sebagian besar tergantung pada hypothalamus. Hypothalamus menjalankan pengaruhnya melalui sel – sel saraf yang menyebabkan pengeluaran factor – factor pelepas (releasing faktor) ke dalam saluran darah menuju ke kelenjar adenohypophisa.

2.6 Fase – Fase Siklus Berahi

Sekali pubertas telah tercapai dan musim reproduksi telah dimulai estrus terjadi pada hewan – hewan betina tidak bunting menurut suatu ritmik siklus yang khas. Interval antara timbulnya suatu periode berahi ke permulaan periode berahi berikutnya dikenal dengan siklus berahi. Interval – interval ini disertai oleh suatu seri perubahan – perubahan fisiologik didalam suatu saluran kelamin betina.
Walaupun setiap spesies mempunyai cirri – cirri khas dari pola berahinya, namun pada dasarnya adalah sama. Siklus berahi umumnya dibagi atas 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestru, dan diestrus. Beberapa peneliti membaginya atas dua fase, fase folikuler atau estrogenic yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase luteal dan progestational yang terdiri dari metestrus dan diestrus.
Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode dimana folikel de Graaf bertumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estrodial yang semakin bertambah. System reproduksi memulai persiapan – persiapan untuk melepaskan ovum dari ovarium. Folikel, atau cairan folikel – folikel, tergantung pada spesies, mengembang dan diisi dengan cairan folikuler. Setiap folikel bertumbuh cepat selama 2 atau 3 hari sebelum estrus. Pada fase ini terjadi peningkatan pada pertumbuhan – pertumbuhan sel – sel dan lapisan bercilia pada tuba faloppii, dalam vaskularisasi mucosa arteri, dan dalam tebal dan vaskularisasi epithel vagina, dan kornifikasi terjadi pada beberapa spesies tertentu.
Estrus. Periode yang ditandai dengan keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Selama periode ini biasanya hewan betina akan mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Folikel de graaf membesar dan menjadi matang. Ovum mengalami perubahan – perubahan kea rah pematangan. Estradiol dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan perubahan – perubahan pada saluran reproduksi tubuler yang maksimal pada fase ini.
Matestrus atau postestrus dalah periode segera setelah estrus di mana corpus luteum bertambah cepat dari sel – sel granulose folikel yang telah pecah di bawah pengaruh hormone LH dari adenohypophisa. Matestrus sebgaian besar berada dibawah pengaruh hormone progesterone yang dihasilkan oleh corpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohypophisa sehingga menghmabat folikel de Graaf yang lain dan mencegah terjadinya estrus.
Diestrus dalah periode terakhir dan terlama siklus berahi pada ternak – ternak mamalia. Corpus luteum menjadi matang dan pengaruh hormone progesterone terhadap saluran reproduksi menjadi nyata.

2.7 BERAHI (estrus)

Estrus dan ovulasi sedikit banyaknya diserentakkan pada hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan spermatozoa dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru. Sinkronisasi estrus dan ovulasi perlu karena umur ovum sesudah ovlasi dan umur sperma yang sudah disemprotkan ke dalam saluran kelamin betina sangat terbatas untuk beberapa jam.

2.7.1 Gejala – Gejala Berahi

Selama estrus, sapi betina menjadi sangat tidak tenang, kurang nafsu makan, dan kadang – kadang menaiki sapi – sapi betina lain dan akan diam berdiri bila dinaiki. Vulava tersebut akan membengkak. Memerah dan penuh dengan sekresi mucus transparan yang menggantung dari vulva atau terlihat di pangkal ekor.

2.7.2 Lamanya Berahi

Lamanya berahi bervariasi pada tiap – tiap hewan dan anatara individu dalam satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh varias- variasi sewaktu estrus, terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek di antara semua ternak mamalia.
Berahi selama kebuntingan
Berhentinya estrus sesudah perkawinan merupakan indikasi yang baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi dapat juga terjadi pada 3 sampai 5 % sapi – sapi yang bunting selama 3 bulan pertama masa kenuntingan walaupun dapat terjadi dalam bulan – bulan yang lebih tua.
Dalam bukunya Toelihere yang berjudul Fisiologi Reproduksi Pada Ternak, menyatakan bahwa hormon progesteron dipersiapkan uterus untuk implantasi blatosis, memelihara dan mengatur organ-organ. Corpus luteum pada domba merupakan sumber progesteron utama, sehingga kadar hormon progesteron sangat erat kaitannya dengan tingkat ovulasi. Semakin tinggi ovulasi, maka kadar hormon progesteron akan meningkat, terutama berkaitan dengan pemeliharaan kebuntingan. Perpanjangan saluran kelenjar ambing dibawah pengaruh hormon estradiol. Percabangan pada saluran kelenjar ambing dan pembentukan lobul alveolar terjadi setelah saluran kelenjar ambing selesai, dipengaruhi hormon progesteron. Hormon progesteron dan estradiol bervariasi sesuai dengan usai kebuntingan, terutama dengan laju ovulasi (jumlah corpus luteum), ataupun jumlah anak yang dikandung Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing yang optimal terjadi selama kebuntingan, serta paling pesat terjadi setelah periode plasentasi, sedangkan selama periode laktasi pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing boleh dikatakan sudah berhenti. Kondisi tersebut disebabkan oleh hormon-hormon yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing sudah menurun. Peningkatan hormon mammogenik selama kebuntingan berhubungan erat dengan jumlah anak yang dilahirkan dan peningkatan produksi susu yang dihasilkan selama laktasi. Banyak jumlah anak yang dilahirkan, semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan. Lebih lanjut peningkatan jumlah corpus luteum dan jumlah anak ternyata meningkatkan sekresi progesteron, estradiol dan laktogen plasma. Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu 98 persen dan merupakan prosentase tertinggi terjadi selama kebuntingan, sedangkan pada periode laktasi hanya + dua persen saja. Kekurangan pakan yang serius dan berlangsung satu sampai tiga minggu selama bulan pertama kebuntingan dapat mengakibatkan kematian embrio (15 persen).

2.7.3 Interval Antara Partus Dan Estrus Pertama

Sesudah partus, hewan betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium dan organ – organ kelamin lainnya dan system endokrin untuk memulai lagi suatu siklus normal dan untuk kebuntingan baru. Uterus kembali pada ukuran dan posisi semula (dikenal dengan involusi) dan mempersiapkan diri untuk kebuntingan berikutnya :
? Sapi. Waktu yang diperlukan untuk involusi antara 30 – 50 hari.
? Kuda involusi uteri 20 – 40 hri
? Babi. Estrus pertama sesuadah partus pada babi terjadi pada waktu 3 sampai 5 hari tetapi biasanya tidak disertai ovulasi. Oleh karena itu apabila betina dikawinkan pada saat tersebut tidak akan terjadi kebuntingan.
? Domba. Lama siklusnya pda domba – domba lokal bervariasi antara 11 sampai dengan 19 hari, rata – rata 16.7 hari.

KESIMPULAN

? Reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas atau dewasa kelamin, dan hal ini diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang dihasilkan dalam tubuh hewan.
? Hewan betina harus menghasilkan ovum yang hidup dan di ovulasikan pada waktu yang tepat. Ia harus memperlihatkan estrus atau keinginan untuk kawin dekat waktu ovulasi sehingga kemungkinan penyatuan sel kelamin jantan dengan sel telur dan kemungkinan pembuahan lebih tinggi.
? reproduksi normal melingkupi penyerentakan dan penyesuaian banyak mekanisme fisiologik.

DAFTAR PUSTAKA

Udiati Umi. 2007. Menyerentakkan Berahi Domba Dan Kambing dengan Spons Progesteron. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Vol.29,No.,3

Usman Budi. 2006. Buku Ajar Dasar Ternak Perah, Departemen Peternakan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Toelihere R. Mozes.1985.Fisiologi Reproduksi Pada Ternak, Penerbit Angkasa Bandung,

Toelihere R. Mozes.1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak, Penerbit Angkasa Bandung,

ILMU REPRODUKSI TERNAK

Reproduksi Pada Ternak

a. Pengertian Reproduksi
Reproduksi atau perkembangbiakan merupakan bagian dari ilmu faal (fisiologi). Reproduksi secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan individual dan meskipun siklus reproduksi suatu hewan berhenti, hewan tersebut masih dapat bertahan hidup, sebagai contoh hewan yang diambil organ reproduksinya (testes atau ovarium) hewan tersebut tidak mati.
Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas atau dewasa kelamin, dan hal ini diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang dihasilkan dalam tubuh hewan. Hewan tingkat tinggi, termasuk ternak, bereproduksi secara seksual, dan proses reproduksinya meliputi beberapa tingkatan fisiologik yang meliputi fungsi-fungsi yang sangat komplek dan terintegrasi antara proses yang satu dengan yang lainnya.

Tingkatan-tingkatan fisiologik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan sel-sel kelamin (gamet)
2. Pelepasan sel-sel gamet yang telah berdiferensiasi secara fungsional
3. Perkawinan untuk mempertemukan gamet jantan dan gamet betina
4. Fertilisasi, fusi antara kedua pronuclei
5. Pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan zigote sampai kelahiran normal

b. Peranan Proses Reproduksi Dalam Kehidupan Makhluk Hidup
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa reproduksi secara fisiologik tidak vital bagi kehidupan makhluk hidup, tetapi reproduksi merupakan proses yang sangat penting untuk kelanjutan suatu jenis atau bangsa hewan. Dalam bidang peternakan, produktivitas ternak tidak dapat dipisahkan dengan proses reproduksi. Sebagai contoh, untuk menghasilan telur, susu dan ternak muda, haruslah melalui serangkaian proses reproduksi yang dimulai dengan pembentukan sel telur/sel sperma, ovulasi, fertilisasi, pertumbuhan dan perkembangan fetus sampai dengan dilahirkan (partus).
Manajemen perkawinan ternak yang baik sangat penting untuk meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunannya. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB). Dengan teknik IB dapat ditingkatkan perbaikan mutu genetik secara cepat, untuk pencegahan kemajiran ternak, pencegahan penyebaran penyakit. Pada inseminasi buatan hanya pejantan-pejantan yang sudah teruji dan mempunyai genetik yang baik yang dipakai untuk mengawini ternak betina sehingga dapat memperbaiki mutu genetik pada turunannya. Dengan IB tidak terjadi kontak langsung antar ternak sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit kelamin menular, juga dengan IB masih memungkinkan pejantan unggul yang mempunyai cedera tubuh dimanfaatkan untuk diambil spermanya untuk mengawini betina. Teknik lainnya untuk meningkatkan efisiensi reproduksi adalah dengan embrio transfer. Teknik ini biasanya dilakukan secara bersamaan dengan superovulasi. Dengan teknik superovulasi, betina yang berkualitas baik yang dipakai sebagai donor embrio dipacu agar dapat mengovulasikan banyak sel telur, setelah sel-sel telur itu dibuahi dan berkembang menjadi zigot-zigot. Zigot-zigot tersebut ditransfer pada beberapa resipien. Dengan hal ini berarti meningkatkan efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut.
Pada periode dekade ini telah berkembang beberapa kemajuan bioteknologi untuk meningkatkan efisiensi reproduksi, meningkatkan mutu genetik turunan dan memperpendek jarak regenerasi, yaitu antara lain dengan pembuatan chimera dan cloning (penjelasan secara detail lihat di internet dan jurnal). Chimera memungkin embrio dari seekor hewan dititipkan pada hewan lain yang berlainan speciesnya. Dengan teknik chimera, maka embrio yang akan dititipkan tersebut telah dimanipulasi sel-selnya sehingga tidak dikenal sebagai embrio asing dan akhirnya akan dapat berkembang sampai lahir tanpa adanya penolakan (rejection) dari induk yang dititipi. Teknik ini sangat bermanfaat bagi usaha meningkarkan populasi hewan-hewan yang hampir punah (endangered species). Seperti dalam pembuatan chimera, pada pembuatan cloning juga dilakukan manipulasi embrio. Dengan teknik cloning memungkinkan diproduksi hewan dengan karakteristik genetik dan performan yang dikehendaki secara besar-besaran. Akan tetapi teknik chimera dan cloning membutuhkan keahlian yang khusus serta biaya yang tidak sedikit, sehingga masih dalam tahap penelitian di laboratorium dan belum bisa diaplikasikan di dunia peternakan secara luas. Sampai saat ini teknik reproduksi yang sudah diterapkan secara luas adalah inseminasi buatan.

Daftar Pustaka
Arthur, G..E., D.E. Noakes and H. Pearson, 1982, Veterinary Reproduction and Obstetrics, 5th edition, The English Language Book Society and Bailliere Tindall, London.
Austin, C.R. and R.V. Short, 1987, Reproduction in Mammals, 2nd edition, Book II: Embryonic and Fetal Development, Cambridge University Press, Cambridge
Austin, C.R. and R.V. Short, 1987, Reproduction in Mammals, 2nd edition, Book III: Hormonal Control of Reproduction, Cambridge University Press, Cambridge.
Cupps, P.T., 1991, Reproduction in Domestic Animals, 4th edition, Academic Press Inc, London.
Hafez, E.S.E., 2003, Reproduction in Farm Animals, 6th edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
Widayati, D.T., Y. Ohmori, T. Wakita and K. Fukuta (2003). Development of transferred xenogeneic vole embryos in mouse uteri, Animal Science Journal, 74: 261-267.
Widayati, D.T., Y. Ohmori and K. Fukuta (2003) Distribution patterns of immunocompetent cells in the pregnant mouse uteri carrying allogeneic mouse and xenogeneic vole embryos, Journal of Anatomy,

SEJARAH FAPET UB


BEGINI CERITANYA...........................


Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya didirikan pada tanggal 26 Oktober 1961 dengan nama Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP), merupakan salah satu fakultas dari Universitas Kotapraja Malang, yang kemudian bernama Universitas Brawijaya. Setahun kemudian, 1 Juli 1961, FKHP bersama Fakultas Pertanian dinegerikan dengan status di bawah naungan Universitas Airlangga. Ketika Universitas Brawijaya dinegerikan pada tanggal 5 Januari 1963, maka FKHP dan Fakultas Pertanian kembali bergabung dengan induknya semula, yaitu Universitas Brawijaya.